Good Corporate Governance | Pengertian GCG, Tujuan GCG, Manfaat GCG, Prinsip Dasar GCG, Pilar Pendukung GCG, Unsur GCG, Mekanisme GCG, Penerapan dan Kendala GCG di Indonesia
Konsep Good Corporate Governance berkembang seiring dengan tuntutan publik yang menginginkan terwujudnya mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat bersih dan bertanggung jawab. Tuntutan ini sebenarnya merupakan jawaban publik terhadap semakin maraknya kasus-kasus penyimpangan korporasi diseluruh dunia. Selain itu, tuntutan ini juga mencerminkan keheranan public mengapa harus penyimpangan korporasi bias terjadi dimanapun juga. Tidak hanya di negara-negara yang sistem bisnisnya memang belum tertata tetapi juga terjadi di negara-negara yang sistem bisnisnya tertata dengan baik, bahkan di negara konsep ini pertama kali dikembangkan, yaitu Amerika Serikat. Publikpun bertanya-tanya mengapa penyimpangan korporasi seolah merupakan ajang konspirasi semua pihak yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Publik juga mempertanyakan mengapa kasus penyimpangan ini justru semakin marak sejalan dengan diterapkan dan dipraktikannya konsep-konsep manajemen modern dalam pengelolaan dunia usaha (Sulistyanto, 2008).
Good Corporate Governance sebagai suatu sistem internal yang meliputi kebijakan dan proses yang melayani kebutuhan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya dengan mengendalikan dan mengarahkan kegiatan manajemen dengan bisnis yang baik, cerdas, objektif, dan berintegritas. Good Corporate Governance mempunyai lima tujuan utama. Kelima tujuan tersebut menurut Sutojo dan John (2008) adalah sebagai berikut:
- Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham,
- Melindungi hak dan kepentingan para anggota the stakeholdersnon-pemegang saham,
- Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham,
- Meningkatkan effisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan, dan
- Meningkatkan mutu hubungan Board of Directorss dengan manajemen senior perusahaan.
Kelima tujuan utama Corporate Governance menunjukan isyarat bagaimana penting hubungan antara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan sehingga diperlukan tata kelola perusahaan yang baik.
Visit My YouTube Channel :
- Zikir Penghapus Dosa, Pembuka Pintu Rezeki, Penenang Hati, Permudah Segala Urusan
- Punya Hajat Dunia dan Akhirat? Pengen Bisnis Lancar? | Udah Sholawatin Aja!!
- Sholawat Munjiyat - Ust. Yusuf Mansyur
Menurut Achmad Daniri (2005), Penerapan Corporate Governance yang efektif dapat memberikan sumbangan yang penting dalam memperbaiki kondisi perekonomian, serta menghindari terjadinya krisis dan kegagalan serupa di masa depan, dengan menerapkan Corporate Governance yang baik akan memberikan manfaat sebagai berikut:
- Peningkatan kinerja perusahaan melalui supervise atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepenti-ngan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.
- Memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
- Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
Prinsip – Prinsip Dasar Good Corporate Governance
Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan dimaksudkan untuk membantu dewan perusahaan publik dan manajemen dalam upaya mereka untuk menerapkan praktik tata kelola perusahaan yang tepat dan efektif. Bagi perusahaan publik, nilai jangka panjang adalah pengukuran utama dari tata kelola perusahaan yang sukses, dan penting bahwa para pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya mengerti mengapa perusahaan telah memilih untuk menggunakan struktur, praktek, dan proses governance tertentu untuk mencapai suatu tujuan (Business Roundtable, 2016). Prinsip-prinsip Corporate Governance menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 sebagai berikut:
- Tranparansi (transparency). Keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.
- Akuntabilitas (accountability). Kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif.
- Pertanggungjawaban (responsibility). Kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.
- Independensi (independency). Pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.
- Kewajaran (fairness). Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut di atas, bank wajib berpedoman pada berbagai ketentuan dan persyaratan minimum serta pedoman yang terkait dengan pelaksanaan good corporate governance.
Prinsip Corporate Governance menurut OECD (2015), pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberikan kemajuan terhadap kinerja suatu perusahaan. Dalam OECD terdapat 6 (enam) prinsip yang mengatur tentang corporate governance. Prinsip-prinsip tersebut secara garis besar menjelaskan tentang kerangka kerja corporate governance, perlindungan atas hak-hak pemegang saham, perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham, peranan stakeholders dalam corporate governance, keterbukaan dan tranparansi, serta tanggung jawab dewan komisaris.
1. Menjamin Kerangka Dasar Coporate Governance Berjalan Efektif
Pada prinsip pertama ini menyatakan bahwa corporate governance harus mendorong terciptanya pasar yang transparan dan efisien, sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, dan dapat dengan jelas memisahkan fungsi dan tanggung jawab otoritas-otoritas yang memiliki pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum. Prinsip OECD ini secara lebih jelas membahas 4 (empat) subprinsip:
- Kerangka corporate governance harus dikembangkan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap perkembangan perekonomian secara keseluruhan, integritas pasar dan insentif yang tercipta bagi pelaku pasar serta meningkatkan transparansi dan efisiensi pasar.
- Ketentuan hukum dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan corporate governance harus sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku, transparan dan dapat di tegakkan.
- Pembagian tanggung jawab antar otoritas dalam suatu yurisdiksi harus diungkapkan secara jelas dan dipastikan bahwa kepentingan masyarakat telah terpenuhi.
- Otoritas dalam pengawasan, pengaturan dan penegakan hukum harus memiliki kewenangan, integritas dan sumber daya dalam pemenuhan tugasnya secara profesional dan objektif. Selanjutnya, keputusan-keputusannya harus tepat waktu, transparan, dan jelas.
2. Hak-hak pemegang saham dan fungsi-fungsi penting kepemilikan saham
Prinsip kedua ini mengidentifikasi hak-hak dasar pemegang saham, termasuk hak atas informasi dan partisipasi melalui pertemuan pemegang saham dalam keputusan penting perusahaan. Prinsip ini juga berkaitan dengan pengungkapan struktur kontrol, seperti hak suara yang berbeda. Isu-isu baru dalam prinsip ini meliputi penggunaan teknologi informasi pada pertemuan pemegang saham, prosedur untuk persetujuan transaksi dengan pihak terkait dan partisipasi pemegang saham dalam keputusan remunerasi eksekutif.
3. Investor institusi, pasar saham, dan perantara lainnya
Prinsip ini membahas kebutuhan untuk insentif ekonomi yang sehat di seluruh rantai investasi, dengan fokus khusus pada investor institusi bertindak dalam kapasitas sebagai pemegang amanah. Hal ini juga menyoroti kebutuhan untuk mengungkapkan dan meminimalkan konflik kepentingan yang dapat mengganggu integritas proxy penasihat, analis, broker, lembaga agency dan lain-lain yang menyediakan analisis dan saran yang relevan kepada investor.
4. Peran stakeholder dalam tata kelola perusahaan
Prinsip ke-empat ini mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan serta menggarisbawahi pentingnya mengakui hak-hak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui kesepakatan bersama. Prinsip juga mendukung akses pemangku kepentingan terhadap informasi secara tepat waktu dan teratur dan hak-hak mereka untuk mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran hak-hak mereka.
5. Pengungkapan dan transparansi
Prinsip kelima ini mengidentifikasi area utama pengungkapan, seperti keuangan dan hasil operasi, tujuan perusahaan, kepemilikan utama saham, remunerasi, transaksi pihak terkait, faktor risiko, anggota dewan, dll.
6. Tanggung jawab dewan
Prinsip ke-enam ini memberikan panduan yang berhubungan dengan fungsi utama dari dewan direksi, termasuk peninjauan strategi perusahaan, memilih dan kompensasi manajemen, mengawasi akuisisi perusahaan besar dan divestasi, dan memastikan integritas akuntansi dan pelaporan keuangan sistem korporasi.
Menurut ASX( Australian Stock Exchange) terdapat 8 (Delapan) prinsip-prinsip utama:
- Membangun pondasi yang kuat bagi pengelolaan dan pengawasan. Sebuah entitas yang terdaftar harus menetapkan dan mengungkapkan peran masing-masing dan tanggung jawab dewan dan manajemen dan bagaimana kinerja mereka dipantau dan dievaluasi.
- Struktur dewan untuk nilai tambah. Sebuah entitas yang terdaftar harus memiliki dewan ukuran yang sesuai, komposisi, keterampilan, dan komitmen yang memungkinkan untuk melaksanakan tugasnya secara efektif.
- Bertindak secara etis dan bertanggung jawab. Sebuah entitas yang tercantum harus bertindak secara etis dan bertanggung jawab.
- Menjaga integritas dalam pelaporan perusahaan. Sebuah entitas yang terdaftar harus memiliki proses formal dan ketat yang independen memverifikasi dan menjaga integritas korporasi pelaporan.
- Membuat pengungkapan yang tepat waktu dan seimbang. Sebuah entitas yang terdaftar harus membuat pengungkapan yang tepat waktu dan seimbang dari semua hal bahwa wajar seseorang akan berharap untuk memiliki dampak material terhadap harga atau nilai efek-nya.
- Menghormati hak-hak pemegang keamanan. Sebuah entitas yang terdaftar harus menghormati hak-hak pemegang keamanan dengan menyediakan informasi dan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan mereka menggunakan hak mereka secara efektif.
- Mengakui dan mengelola risiko. Sebuah entitas yang terdaftar harus membentuk suatu kerangka kerja manajemen risiko yang sehat dan secara berkala meninjau efektivitas dari kerangka kerja tersebut.
- Sistem remunerasi yang adil dan bertanggung jawab. Sebuah entitas yang terdaftar cukup harus membayar remunerasi direktur untuk menarik dan mempertahankan kualitas direksi dan desain remunerasi eksekutif untuk menarik, mempertahankan dan memotivasi senior eksekutif, dan untuk menyelaraskan kepentingan mereka dengan menciptakan nilai bagi pemegang saham.
Para industri perbankan dalam menjalankan usahanya wajib berpedoman pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance untuk meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika (code of conduct) yang berlaku secara umum pada industri perbankan.
Agar semua prinsip-prinsip yang tercakup dalam good corporate governance ini dapat berjalan secara efektif maka diperlukan sistem pengawasan dan pengendalian yang memadai dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Setiap perusahaan mempunyai kewajiban untuk membentuk sistem pengawasan dan pengendalian yang bersih, sehat, dan bertanggung jawab. Pengawasan dan pengendalian ini dapat terlaksana dengan baik apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai independensi dengan kepentingan perusahaan. Artinya, orang-orang ini tidak mempunyai ikatan kepentingan yang dapat mengakibatkannya tidak bebas dari tekanan dan intevensi manajerial. Seluruh tindakan dan keputusan yang dibuatnya harus lepas dari kepentingan manajer, apalagi jika hal itu menyangkut kepentingan stakeholder (Sulistyanto, 2008).
Pilar Pendukung Good Corporate Governance
Menurut KNKCG (2006), Good Corporate Governance diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, penerapan Good Corporate Governance perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
- Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement)
- Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan Good Corporate Governance sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.
- Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab
Pedoman Pokok Pelaksanaan
1. Peranan Negara
- Melakukan koordinasi secara efektif antar penyelenggara negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan berdasarkan sistem hukum nasional dengan memprioritaskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu regulator harus memahami perkembangan bisnis yang terjadi untuk dapat melakukan penyempurnaan atas peraturan perundang-undangan secara berkelanjutan.
- Mengikut sertakan dunia usaha dan masyarakat secara bertanggung jawab dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (rule-making rules). Menciptakan sistem politik yang sehat dengan penyelenggara negara yang memiliki integritas dan profesionalitas yang tinggi.
- Melaksanakan peraturan perundang -undangan dan penegakan hukum secara konsisten.
- Mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
- Mengatur kewenangan dan koordinasi antar-instansi yang jelas untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dengan integritas yang tinggi dan mata rantai yang singkat serta akurat dalam rangka mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.
- Memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor (whistleblower) yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain.
- Mengeluarkan peraturan untuk menunjang pelaksanaan Good Corporate Governance dalam bentuk ketentuan yang dapat menciptakan iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.
- Melaksanakan hak dan kewajiban yang sama dengan pemegang saham lainnya dalam hal Negara juga sebagai pemegang saham perusahaan.
2. Peranan Dunia Usaha
- Menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.
- Bersikap dan berperilaku yang memperlihatkan kepatuhan dunia usaha dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan.
- Mencegah terjadinya KKN.
- Meningkatkan kualitas struktur pengelolaan dan pola kerja perusahaan yang didasarkan pada asas Good Corporate Governance secara berkesinambungan.
- Melaksanakan fungsi ombudsman untuk dapat menampung informasi tentang penyimpangan yang terjadi pada perusahaan. Fungsi ombudsman dapat dilaksanakan bersama pada suatu kelompok usaha atau sektor ekonomi tertentu.
3. Peranan Masyarakat
- Melakukan kontrol sosial dengan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap pelayanan masyarakat yang dilakukan penyelenggara negara serta terhadap kegiatan dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh dunia usaha, melalui penyampaian pendapat secara obyektif dan bertanggung jawab.
- Melakukan komunikasi dengan penyelenggara negara dan dunia usaha dalam mengekspresikan pendapat dan keberatan masyarakat.
- Mematuhi peraturan perundang-undangan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Unsur-unsur Good Corporate Governance
Menurut Sutedi (2011), unsur-unsur dalam GCG yaitu :
a. Corporate Governance – Internal Perusahaan
Unsur-unsur yang berasal dari dalam perusahaan adalah :
- Pemegang saham
- Direksi
- Dewan komisaris
- Manajer
- Karyawan
- Sistem remunerasi berdasar kinerja
- Komite audit
Unsur-unsur yang selalu diperlukan di dalam perusahaan, antara lain meliputi :
- Keterbukaan dan kerahasiaan (disclosure)
- Transparansi
- Akuntabilitas
- Kesetaraan
- Aturan dari code of conduct
b. Corporate Governance – External Perusahaan
Unsur-unsur yang berasal dari luar perusahaan adalah :
- Kecukupan undang-undang dan perangkat hukum
- Investor
- Institusi penyedia informasi
- Akuntan publik
- Intitusi yang memihak kepentingan publik bukan golongan
- Pemberi pinjaman
- Lembaga yang mengesahkan legalitas
Unsur-unsur yang selalu diperlukan di luar perusahaan antara lain meliputi:
- Aturan dari code of conduct
- Kesetaraan
- Akuntabilitas
- Jaminan hukum
Perilaku partisipasi pelaku Corporate Governance yang berada di dalam rangkaian unsur-unsur internal maupun eksternal menentukan kualitas Corporate Governance.
Selain unsur-unsur tersebut, juga dapat dikemukakan model Good Corporate Governance, yaitu:
- Principal Agent Model, atau dikenal dengan agency theory, yaitu korporasi dikelola untuk memberikan win-win solution bagi pemegang saham sebagai pemilik di satu pihak, dan manajer sebagai agen di lain pihak. Dalam model ini, diasumsikan bahwa kondisi corporate governance suatu perusahaan akan direfleksikan secara baik dalam bentuk sentimen pasar (yaitu: pasar modal, pasar produk, dan pasar input).
- The Myopic Market Model, masih memfokuskan perhatian pada kepentingan-kepentingan pemegang saham dan manajer, yaitu sentiment pasar lebih banyak dipengaruhi oleh factor-faktor lain di luar corporate governance. Oleh karena itu, principal dan agent lebih berorientasi pada keuntungan-keuntungan jangka pendek.
- Stakeholder Model, yang memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan korporasi secara luas. Artinya, dalam mencapai tingkat pengembalian yang menguntungkan bagi pemegang saham, manajer harus memperhatikan adanya batasan-batasan yang timbul dalam lingkungan di mana mereka beroperasi, di antaranya: masalah etika dan moral, hukum, kebijakan pemerintah, lingkungan hidup, sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Mekanisme Good Corporate Governance
Secara sepintas penerapan Good Corporate Governance di bank umum tidak berbeda dengan perusahaan lainnya, akan tetapi tidaklah demikian halnya. Dalam banyak hal perilaku manager dan pemilik bank merupakan faktor utama yang memerlukan perhatian dalam penerapan Good Corporate Governance. Dalam banyak hal konsep Agency Theory yang sering digunakan dalam penerapan Good Corporate Governance tidak sepenuhnya dapat digunakan dalam industri perbankan. Untuk itu perlu ditelaah lebih lanjut bagaimana seharusnya penerapan GCG pada industri perbankan dilakukan. (Leo J. Susilo,2007)
Bank Indonesia (BI) pada tanggal 30 Januari 2006 yang lalu telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Upaya BI dengan mengeluarkan peraturan tentang pelaksanaan Good Corporate Governance tersebut sudah tepat, meskipun agak terlambat. Sesuai pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governace dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling kurang harus diwujudkan dalam 7 (tujuh) hal sebagai berikut.
- Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi.
- Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal bank.
- Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal.
- Penerapan manajemen risiko, termasuk system pengendalian intern.
- Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar.
- Rencana strategis bank.
- Transparansi kondisi keuangan dan nonkeuangan bank.
Dari segi operasional Ross Levine (2003, 2005) menyatakan bahwa bank pada dasarnya mempunyai dua ciri khas yang tidak terdapat pada jenis industri lainnya yaitu (1) industri perbankan relatif lebih kurang transparan (opaque) dibandingkan dengan industri lainnya karena adanya informasi asimetri, dan (2) intervensi regulator sangat tinggi dalam perbankan baik secara makro yaitu pada pasar jasa perbankan maupun secara mikro terhadap masing-masing bank. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wiraguna Bagoes Oka dari Bank Indonesia yang menyatakan bahwa dua elemen penting dalam penerapan GCG diperbankan adalah transparansi dan regulasi. (Leo J. Susilo, 2007)
Terdapat 4 (empat) hal yang dapat dijadikan sebagai kriteria penilaian bagi BI dalam menentukan peringkat GCG perbankan adalah sebagai berikut.
- Transparansi bank terhadap pihak-pihak terkait.
- Efektivitas direksi dan komisaris perbankan dalam mengemban tugasnya.
- Efektivitas komite-komite yang wajib dibentuk di lingkungan direksi dan komisaris.
- Independensi Satuan Kerja Audit Intern (SKAI).
Pelaksanaan Good Corporate Governance bank umum adalah memperkuat industri perbankan nasional sesuai dengan API, antara lain melalui peningkatan peran dewan komisaris dan direksi, serta memperjelas defenisi komisaris independen dan pihak independen. Langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan pemerintah dalam merestrukturisasi sektor lainnya tentunya akan meningkatkan efektivitas kebijakan baru ini. Menurut Muliaman, inti dari pelaksanaan Good corporate Governance adalah perubahan yang dilakukan BI adalah supaya lebih efektif dalam implementasi aturan tersebut. Banyak aturan mengenai Good Corporate Governance yang perlu ditinjau kembali, antara lain kewajiban cooling off.
Menurut Caprio, et al. (2003) dalam Dewayanto (2010) mekanisme tata kelola perusahaan akan mampu mengurangi perampasan sumber daya bank dan mempromosikan efisiensi bank. Ini adalah salah satu fakta mengenai pentingnya tata kelola perusahaan perbankan. Dalam suatu paper The Bassel Committee on Banking Supervision-Federal Reserve, telah menyoroti fakta bahwa strategi dan teknik yang didasarkan pada prinsip-prinsip OECD (Brigham dan Erhardt, 2005) dalam Dewayanto (2010) yang merupakan dasar untuk melaksanakan tata kelola perusahaan meliputi:
- Nilai-nilai perusahaan, kode etik dan perilaku lain yang sesuai standar dan sistem yang digunakan untuk memastikan kepatuhan mereka
- Pembentukan mekanisme untuk interaksi dan kerjasama di antara dewan direksi, manajemen senior, dan para auditor
- Sistem pengendalian internal yang kuat, termasuk fungsi-fungsi audit internal dan eksternal, manajemen risiko fungsi independen dari lini bisnis, dan check and balance lainnya.
Selain itu, mekanisme pemantauan tata kelola perusahaan (corporate governance) menjadi salah satu praktek strategi khusus untuk melakukan tata kelola perusahaan. Mekanisme Pemantauan Corporate Governance antara lain sebagai berikut:
1. Mekanisme Pemantauan Kepemilikan
- Kepemilikan Pemegang Saham Pengendali. Penelitian yang dilakukan oleh Shleifer dan Vishny (1986) dalam Dewayanto (2010) menunjukan bahwa larger shareholders (pemegang saham pengendali) dapat lebih banyak melakukan monitoring terhadap pihak manajemen perusahaan dan meningkatkan nilai perusahaan. Adanya monitoring yang cukup tinggi membuat manajer mempunyai derajat disretion yang rendah dalam mengambil keputusan-keputusan untuk menguntungkan dirinya. Hal ini akan mengurangi konflik keagenan dan dapat menyelaraskan kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham, sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan (Belkhir, 2005) dalam Dewayanto (2010).
- Kepemilikan Asing. Dengan tersebarnya mayoritas kepemilikan saham kepada kepemilikan asing (foreign ownership) maka pelaksanaan monitoring para pemegang saham kepada pihak manajemen perusahaan menjadi lemah karena pemegang saham tidak mempunyai insentif dan kemampuan untuk memonitor manajemen. Kurangnya monitoring pemegang saham juga berkaitan dengan adanya masalah freerider (Zhuang, dkk., 2000 dalam Gunarsih, 2003) dalam Dewayanto (2010).
- Kepemilikan Pemerintah. Kepemilikan bank yang semakin besar oleh pemerintah cenderung mengalami perkembangan kinerja yang melambat (Barth, Caprio Jr dan Levine, 2002) dalam Dewayanto (2010). Meskipun demikian peran kepemilikan pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal pengendalian. Pengendalian pemerintah dapat digunakan untuk memecahkan masalah konflik antara dewan manajemen dan para pemegang saham (Bai, Liu, Lu, Song, dan Zhang, 2003) dalam Dewayanto (2010)
2. Mekanisme Pemantauan Pengendalian Internal
- Ukuran Dewan Direksi. Peningkatan ukuran dan diversitas dari dewan direksi akan memberikan manfaat bagi perusahaan karena terciptanya network dengan pihak luar perusahaan dan menjamin ketersediaan sumber daya (Pfefer,1973) dan Pearce & Zahra ,1992 dalam Faisal, 2005) dalam Dewayanto (2010).
- Ukuran Dewan Komisaris. Menurut Chtourou et al (2001) dalam Dewayanto (2010) dalam penelitiannya bahwa dengan jumlah dewan yang semakin besar maka mekanisme monitoring manajemen perusahaan akan semakin baik. Jumlah dewan yang besar menguntungkan perusahaan dari sudut pandang resources dependence.
- Komisaris Independen. Semakin tinggi perwakilan dari outsider director (komisaris independen), maka semakin tinggi independensi dan efektivitas corporate board sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Barnhart & Rosenstein, 1998 dalam Lastanti, 2004) dalam Dewayanto (2010).
3. Mekanisme Pemantauan Regulator
Menurut (Brigham dan Erhardt, 2005) dalam Dewayanto (2010), Komite Bassel menyiratkan bahwa pemantauan peraturan (regulator) yang dikeluarkan oleh bank sentral atau pemerintah juga mempengaruhi kinerja perbankan terutama dalam profitabilitas, melalui persyaratan cadangan dan atau Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio/ CAR)
4. Mekanisme Pemantauan pengungkapan
Transparansi keuangan menjadi mekanisme lebih penting khususnya pasca krisis ekonomi dan moneter, karena dapat menetapkan jaminan yang kredibel dari aktivitas perbankan (Zulkafli & Samad, 2007 dalam Praptiningsih, 2009) dalam Dewayanto(2010).
Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia
Good Corporate Governance mulai menarik perhatian publik Indonesia sejak 1998 ketika krisi ekonomi melanda negara ini. Salah satu penyebab krisis ekonomi ini adalah tidak dipenuhinya syarat-syarat pengelolaan korporasi yang memadai ada beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab, yaitu sistem regulasi yang lemah, standar akuntansi dan audit yang inkonsisten, dan praktek perbankan yang buruk. Kondisi ini mirip yang terjadi di Inggris sekitar tahun 1980 ketika good corporate governance menjadi perhatian publik sebagi akibat publisitas masalah-masalah korporasi, seperti creative accounting, kebangkrutan perusaan dalam skala yang sangat besar, penyalahgunaan dana stakeholder oleh para manajer, terbatasnya peran auditor, tidak jelasnya kaitan antara kompensasi manajer dengan kinerja perusahaan, dan merger dan akuisisi yang merugikan perekonomian secara keseluruhan. Oleh sebab itu, sejalan dengan Letter of Intent (LOI) International Monetary Fund (IMF), yang salah satu bagian pentingnya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan dunia usaha. Perusahaan-perusahaan Indonesia mulai menerapkan prinsip good corporate governance. Untuk itu pemerintah menekankan pentingnya dunia usaha di Indonesia untuk menerapkan standar good corporate governance seperti yang diterapkan di tingkat internasional. Alasannya Indonesia merupakan negara terburuk dibandingkan dengan negara-negara asia lainnya dalam mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab (Sulistyanto, 2008).
Meski menyadari pentingnya good corporate governance, saat ini masih sedikit perusahaan yang menerapkan prinsip ini. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip good corporate governance karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip ini sebagai bagian dari budaya perusahaan (Sulistyanto, 2008).
Ada banyak kasus penyelewengan korporasi yang dapat dijadikan contoh betapa buruknya pengelolaan dunia usaha (bad corporate governance) di Indonesia. Contoh kasus manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak manajemen Bank Century dengan tujuan untuk memperoleh dana penyelamatan dari Menteri Keuangan. Kasus Bank Century menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia sendiri karena menyeret banyak pejabat-pejabat penting dan lebih khususnya adalah masalah pergerakan harga saham yang terus mengalami penurunan akibat dari dampak sistemik kasus Bank Century ini. Industri perbankan merupakan industri “kepercayaan”, jika investor berkurang kepercayaannya karena laporan keuangan yang bias akibat praktik manajemen laba, maka para nasabah dan investor akan melakukan penarikan dana bersama-sama sehingga akan menimbulkan rush. Bank Century yang terindikasi memanipulasi berbagai kasus penyajian laporan keuangan yang tidak semestinya, mengakibatkan laba yang dilaporkan perusahaan menjadi tidak persisten (Sulistyanto, 2008).
Kasus tersebut terjadi akibat lemahnya budaya pengawasan dan pengendalian dunia usaha di Indonesia. Semua pihak internal maupun eksternal tidak melakukan tugasnya sebagaiman mestinya. Pemegang saham dan komisaris yang seharusnya mengawasi dan mengendalikan manajer jarang menggunakan kewenangannya. Sementara manajerpun cukup cerdas untuk menjinakkan dan memuaskan pemegang saham komisaris agar selalu bersedia menerima semua kebijakan yang diputuskannya. Apalagi jika semua unsur manajer mewakili kepentingan pemegang saham mayoritas yang mengakibatkan terjadinya intervensi terhadap berbagai kebijakan manajerial dari pemegang saham itu yang merugikan pemegang saham minoritas. Kondisi ini rawan karena pasar modal Indonesia merupakan emerging market dengan cirri utama kepemilikan yang terkonsentrasi pada kelompok tertentu (closely held). Akibatnya, pemegang saham mayoritas mempunyai akses yang besar untuk mempengaruhi keputusan manajerial yang seringkali merugikan dan melanggar asas akuntabilitas dan keadilan pemegang saham minoritas (Sulistyanto, 2008).
Maka dari itu, pemerintah Indonesia membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang bertugas menyiapkan kerangka dasar pelaksanaan good corporate governance, termasuk memperbaiki kerangka hukum, institusional, dan peraturan untuk mengelola korporasi. Bahkan selainmereposisi peran Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dan Bank Indonesia, komite ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengamandemekan beberapa undang-undag (UU) untuk menampung aspek good corporate governance, yaitu UU Perseroan Terbatas, UU WDP, UU Pasar Modal, dan UU Perbankan. Bursa efek Jakarta (BEJ) sebagi tempat bernaungnya perusahaan-perusahaan publik di Indonesia, secara khusus juga mengeluarkan peraturan tentang keharusan perusahaan public untuk mengangkat komisaris Independen dan pembentukan komite audit serta compliance officer multinasional memilih pindah dan merelokasikan usahanya di negara lain (Sulistyanto, 2008).
Oleh sebab itu, meskipun dunia usaha tetap merupakan garda terdepan dalam menciptakan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab untuk kehidupan bernegara yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab. Upaya-upaya kontraprduktif yang selama ini terjadi harus dieliminir seminimal mungkin untuk membangun kembali integritas dan kredibilitas bisnis Indonesia yang hancur, khususnya di mata internasional. Alasannya, Indonesia membutuhkan masuknya investasi asing dan bukan sebaliknya, yaitu hengkangnya investasi asing keluar dari negara. Hal ini didasari kenyataan bahwa untuk membangun kembali perekonomian di negara ini sangat membutuhkan peranan investasi-investasi asing, khususnya investasi dari negara-negara maju (Sulistyanto, 2008).
Pada intinya penerapan governance harus ada dorongan pemerintah pasar dan komitmen akan etika dan nilai-nilai apa yang bias dan tidak bias dilakukan. Menerapkan governance harus ada kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan yang harus menjadi roh kekuatan dalam good governance, agar masyarakat menilai governance secara positif bagi kehidupan mereka (Said, 2015)
Kendala-kendala Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia
Djatmiko (2004), Perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan corporate governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-prinsip GCG dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut pada tataran implementasi. Kendala ini dapat dibagi tiga antara lain sebagai berikut:
1. Kendala Internal
Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan tentang prinsip-prinsip GCG, kurangnya panutan atau teladan yang diberikan oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-prinsip GCG, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal.
2. Kendala Eksternal
Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate governance terkait dengan perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-enforcement). Indonesia tidak kekurangan produk hukum. Secara implicit ketentuan-ketentuan mengenai GCG telah ada tersebar dalam UUPT, Undang-undang dan Peraturan Perbankan, Undang-undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas, seperti Bank Indonesia, Bapepam, BPPN, Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan pengadilan sangat lemah. Baik kendala internal maupun kendala eksternal sama-sama penting bagi perusahaan, namun demikian, jika kendala internal bisa dipecahkan maka kendala eksternal akan lebih mudah diatasi.
3. Kendala Struktur Kepemilikan
Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham sebesar 5% atau kurang).
Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat menggunakan sumberdaya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai perusahaan. Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari struktur kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal yang efektif, seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab secara adil di antara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan Komisaris, Dewan Direksi, manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan lainnya), dan dampak negatif ini juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai Komisaris Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan (syarat-syarat yang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen).
Comments
Post a Comment